BEING MINORITY IN MY OWN COUNTRY

Beberapa hari kemarin saya membaca buku Rentang Kisah yang di tulis oleh Gita Savitri Devi Mahasiswa Universitas Freie jerman, dia berasal dari Indonesia dan beragama Islam.
Salah satu tulisannya bertajuk BEING MUSLIM IN A NON MUSLIM COUNTRY. Di bab ini Gita menceritakan bagaimana bersikap dan istiqomah dalam menjalankan ibadah dengan keterbatasan yang bukan menjadi keterbatasan. Eh gimana sih bahasanya, pokonya gitu intinya.

Saya tertarik untuk menuliskan (eh maaf menceritakan maksudnya, mengingat saya bukan penulis 😊) hal yang sama dengan situasi dan kondisi yang berbeda, BEING MUSLIM IN A MUSLIM COUNTRY. BEING MINORITY IN MY OWN COUNTRY.

Jika berada di kota-kota besar mungkin kita bisa melihat banyak perempuan perempuan berhijab sebagai identitas bahwa mereka adalah seorang muslim, orang-orang yang bersiap siap menuju masjid, anak-anak yang berlarian menuju tempat mengaji. Kita boleh bangga menjadi mayoritas, boleh beruntung karena berada, tinggal di negara yang memiliki penduduk islam terbanyak, bangga karena berada di Indonesia.

Begitulah tahun demi tahun saya lalui, sampai dititik ketika harus berada di daerah yang menjadikan saya seorang minoritas. Nias Selatan yang seketika menjadikan hidup saya berubah, berada di sekililing masyarakat Nasrani.

Saya tinggal di Pulau Marit, 95% penduduk menganut kepercaan kristen protestan dan katolik, sisanya adalah muslim yang notabene bukan penduduk asli. Datang ke pulau ini bertemu dengan sesama muslim adalah hal yang menyenangkan, tanpa perduli entah itu islam KTP (begitu muslim disini menyebut diri mereka). Tidak tersedia sarana Mushola ataupun Masjid disini melainkan harus menyebrang ke Pulau Tello yang jaraknya jika menggunakan kapal mesin nelayan biasa ditempuh dengan waktu 1 jam.

Jilbab bagi kami seorang perempuan muslim merupakan identitas, perduli akhlaknya baik atau buruk, jilbab merupakan hal yang wajib, begitupun saya entah bagaimana akhlak saya. Baru beberapa tahun yang lalu saya memutuskan untuk mengenakan jilbab,
Tak jarang anak-anak pulau yang menatap aneh pakaian saya dan 3 orang teman muslim saya lainnya yang bertugas di pulau ini.

Pernah suatu ketika, perayaan 17 agustus semakin dekat, saya dan teman perempuan muslim saya diajak untuk mengikuti tari maena (tari adat Nias Selatan) dan sebelum hari H kami terus berlatih, sampai pada hari pertunjukan beberapa orang menolak jika kami menggenakan jilbab, dengan alasan tidak seragam nanti bakal kalah. Beberapa kali kami mencoba memberi pengertian hingga akhirnya merekapun bisa memaklumi. Dari sini saya sadar dan lagi-lagi paham jika saya adalah minoritas disini.

Selama ini tidakkah kita berfikir banyak minoritas lain di kiri dan kanan kita, di perkotaan tak jarang orang-orang yang melihat nasrani berkalung salib lantar melontarkan kata "oh dia nasrani" meskipun dalam hati. Melihat restaurant non halal di mall "ih ada babinya", diundang teman nasrani kerumahnya "gak mau ah nanti dikasih makanan yang gak Halal" "di rumah mereka ada anjingnya, najis". Sekarang mulai terpikir oleh saya oh begini rasanya.

Menjadi muslim sebenarnya sangat fleksibel, yang saya cermati selama saya menjadi minoritas adalah bagaimana kita bisa menjaga harga diri menjadi seorang muslim. Bagaimana kita bisa saling menghargai, jika masih ada makhluk beragama ini di bagian dunia lain yang tidak di hargai. Sebagai contoh, kejadian 17 agustus yang saya ceritakan di atas, bukan semerta merta mereka lantas meminta saya untuk tidak menggunakan hijab. Namun usut punya usut beberapa muslimah di Pulau Tello yang mengikuti lomba maena mereka memang tetap menggenakan jilbab tapi dengan lengan baju masih diatas siku. Ini adalah ketidak pahaman, mereka berfikir bahwa itu mungkin adalah hal yang biasa.

Jika kita saat ini menjadi mayoritas, maka sesekali posisikanlah diri kita menjadi minoritas. Jika di Indonesia kita merasa menjadi mayoritas maka posisikanlah bahwa kita berada di dunia.

Komentar

Postingan Populer