BAYANG WAYANG
(1)
arjuna merentang urat gendewa. ia memanah gendang
angin,
tetabuhan langit yang dibidik dengan badik.
"akan kubekukan lidah matahari!"
mengapa Ekalaya tidak mengail pasir saja, kakanda?
aku cemas ibu jarinya dicederai butir kerikil. tolong,
jadikan aku serupa Drupadi yang tak mengikat rambut
sebelum Durna itu mati. bisakah? ia terlalu sakti.
"kenapa raden itu kaucermati dari hari ke hari, adinda?"
begitulah, berita kulanjut seperti kuurut huruf demi huruf,
seperti kau bersurat yang terbalas lambat.
rupanya tujuh belas sangat dekat dengan delapan belas.
ini saat yang tak terlompati. ada angin bergulat dengan
gelombang. mendadak gelasku jatuh tetapi tak pecah.
jangan tinggi, jangan berbuih, jangan pasang, kakanda.
jangan...
(2)
ada yang menenteng lampion, menunggumu." sebentar lagi
festival musim semi.
tetapi belum ada yang mengirim salam. " tampak bunga-
bunga mei hwa
berselaput salju palsu. rupanya semua musim sudah tidak
jelas.
siapa yang telah memainkan mereka?
"ada dalangnya!" tambur terus ditabuh. barongsai tak tahu
harus mengedipkan
mata ke sebelah mana. kalau begitu siapa wayangnya? ia
mencermati mereka
yang dikatakan curang. putri Gurun Gobi, dayang istana
Manchu atau
Durna berkartu dua? diamlah! menurutmu, aku salah bila
berpikiran begitu.
kau masih juga belum pulang, masih mencangkul hutan,
masih menggali gunung
"aku mencari singgasana bersepuh permata," aku pun
membenarkanmu
di antara kita harus bersedia untuk tidak mempercakapkan
benar dan salah. cukup mengerti. apakah kau juga
menciptakan taman bunga seruni untuknya?
ia tetap menunggumu. ada gerimis yang tidak lebat tetapi
telah membuat tanah
basah. tangannya ditelungkupkan agar nyala lampion tidak
padam walaupun
makin lemah. masih cukup benderang untuk membuka
berapa banyak kartu yang
kita punya. bukankah kita juga kerrap mendalang sekaligus
mewayang?
(3)
setiap hari terasa aneh. dicoret-coretnya kertas,
membayangkanmu,
membayangkan untuk melupakanmu. ck, betapa tak bisa.
tiba-tiba ia teringar keringat embun yang tumbuh di tubuh
sesloki sepi. diintipnya. kau terapung-apung di sana.
rupanya si penyair masih mabuk, pada sufi atau pada puisi?
karena bennesy
atau karena sunyi? konon, kau tek boleh mabuk. tetapi kau
tak pernah
melarangnya mabuk, bukan? aku selalu memikirkanmu. ada
kata-kata
yang kian tertata.
maka terkutuklah siang dan malam yang semakin aneh itu.
siang ada
di dada terang dan malam adalah rindu bagi para kekasih
sehingga
senja merapat, tak lagi misteri. semakin banyak yang ingin
ditumpahkan
tetapi kau seperti penyair itu, begitu pandai menempatkan perasaan.
di mana kau sembunyikan? apakah akan kau biarkan ia
menyesal dengan
luar biasa? semalaman telah dipungutnya remah-remah
rempah untuk
mencuri harummu, wangi bunga cengkeh. maka bersiaplah,
sebentar lagi
ia luncurkan geletar kelakar liar yang gemertar. rasakan saja!
arjuna merentang urat gendewa. ia memanah gendang
angin,
tetabuhan langit yang dibidik dengan badik.
"akan kubekukan lidah matahari!"
mengapa Ekalaya tidak mengail pasir saja, kakanda?
aku cemas ibu jarinya dicederai butir kerikil. tolong,
jadikan aku serupa Drupadi yang tak mengikat rambut
sebelum Durna itu mati. bisakah? ia terlalu sakti.
"kenapa raden itu kaucermati dari hari ke hari, adinda?"
begitulah, berita kulanjut seperti kuurut huruf demi huruf,
seperti kau bersurat yang terbalas lambat.
rupanya tujuh belas sangat dekat dengan delapan belas.
ini saat yang tak terlompati. ada angin bergulat dengan
gelombang. mendadak gelasku jatuh tetapi tak pecah.
jangan tinggi, jangan berbuih, jangan pasang, kakanda.
jangan...
(2)
ada yang menenteng lampion, menunggumu." sebentar lagi
festival musim semi.
tetapi belum ada yang mengirim salam. " tampak bunga-
bunga mei hwa
berselaput salju palsu. rupanya semua musim sudah tidak
jelas.
siapa yang telah memainkan mereka?
"ada dalangnya!" tambur terus ditabuh. barongsai tak tahu
harus mengedipkan
mata ke sebelah mana. kalau begitu siapa wayangnya? ia
mencermati mereka
yang dikatakan curang. putri Gurun Gobi, dayang istana
Manchu atau
Durna berkartu dua? diamlah! menurutmu, aku salah bila
berpikiran begitu.
kau masih juga belum pulang, masih mencangkul hutan,
masih menggali gunung
"aku mencari singgasana bersepuh permata," aku pun
membenarkanmu
di antara kita harus bersedia untuk tidak mempercakapkan
benar dan salah. cukup mengerti. apakah kau juga
menciptakan taman bunga seruni untuknya?
ia tetap menunggumu. ada gerimis yang tidak lebat tetapi
telah membuat tanah
basah. tangannya ditelungkupkan agar nyala lampion tidak
padam walaupun
makin lemah. masih cukup benderang untuk membuka
berapa banyak kartu yang
kita punya. bukankah kita juga kerrap mendalang sekaligus
mewayang?
(3)
setiap hari terasa aneh. dicoret-coretnya kertas,
membayangkanmu,
membayangkan untuk melupakanmu. ck, betapa tak bisa.
tiba-tiba ia teringar keringat embun yang tumbuh di tubuh
sesloki sepi. diintipnya. kau terapung-apung di sana.
rupanya si penyair masih mabuk, pada sufi atau pada puisi?
karena bennesy
atau karena sunyi? konon, kau tek boleh mabuk. tetapi kau
tak pernah
melarangnya mabuk, bukan? aku selalu memikirkanmu. ada
kata-kata
yang kian tertata.
maka terkutuklah siang dan malam yang semakin aneh itu.
siang ada
di dada terang dan malam adalah rindu bagi para kekasih
sehingga
senja merapat, tak lagi misteri. semakin banyak yang ingin
ditumpahkan
tetapi kau seperti penyair itu, begitu pandai menempatkan perasaan.
di mana kau sembunyikan? apakah akan kau biarkan ia
menyesal dengan
luar biasa? semalaman telah dipungutnya remah-remah
rempah untuk
mencuri harummu, wangi bunga cengkeh. maka bersiaplah,
sebentar lagi
ia luncurkan geletar kelakar liar yang gemertar. rasakan saja!
Komentar
Posting Komentar