SIHIR ZAHIR

(1)

bagaimana aku bisa sebuta ini
   sebuta ikan bermata suram yang semalaman
   kelopaknya tak mampu rekah karena lelah. sebab
   sudah semalaman kupandang bulan dalam pasu dan
belanga. namun bulan tak basah-basah juga karena air
dan air tak pecah-pecah juga karena bulan.
   seperti itulah, aku membuta.

bagaimana aku bisa?
   mengharapkan pangeran berwajah emas dari istana
   berajah tembaga. pangeran asap yang bersayap,
yang napasnya menghamburkan harum tembakau.
sehingga ketika ia lenyap, aku tetap saja mabuk dalam
kegaiban pesona yang ajaib.
   seperti itulah, aku mengharapkannya.

bagaimana?
   harus kutanyakan apakah butaku tak termaafkan?
   oh! aku benci memikirkan pengharapanku

(2)

apakah yang kau bubuhkan pada helai malam, sri panggung?"
gincu atau anting? mri sini. kau akan kusunting dengan
canting. maka kubungkus rapat mimpi yang kautampilkan.
diam-diam telah kutakik namamu dengan rintik hujan,

tetapi yakinkah kau bahwa mimpi akan tetap mimpi?
ia tak pernah mendustai atau menipu tidur kita. percayalah,
pelupukku masih setengah tertutup juga setengah menyala.
di sana tak ada apa-apa, tak ada siapa-siapa. sepi jadi gelisah.

"peganglah aku," tetapi aku memelukmu. jangan takut luput.
aku juga menciummu. apakah ini yang kau inginkan, bunga
tidur?
menurutmu, mimpi tak perlu dikuatirkan, tak usah dipikirkan.
aku sering sekali memimpikanmu, entah.

kemudian beratus harum ratus meletupkanku. aku kapuk
yang pecah dari kulit buahnya. ah, jangan begitu.
ini hanya sedikit sakit. isyarat berpukat itu bukan siulan
daun-daun bambu. semoga saja,

(3)
ini penghujung musim kering.
dedaunan garing berhamburan. semuanya cokelat
yang bisa remuk hanya dengan sekali remas.
kertap bunyinya menyinggahi rambut. seperti pita.

ini penghujung musim kering.
pepohonan rindang menyemburkan gumpalan debu,
mereka luntur seperti serumpun hujan. kelihatannya
ada rencana besar yang belum jelas. sibuk sekali.

ini penghujung musim kering. angin ringkih.
tipis dan ringan melayang tanpa menghasilkan
kelembapan butir-butir udaea. tidak ada yang memuai.
bukankah seharusnya mereka sudah berbenah
ketika matahari menjenguk pagi?

ini penghujung musim kering.
"oh, artinya apa?" sedang kita masih saja saling lamun.
padahal cokelat benar-benar sudah cokelat.

(4)

pada mangsa labuh : sebuah musim diantara kemarau
dan penghujan. kering menguap dari lentik hati menjadi
cerita berbingkai. tentang darah yang tak merah dan merah
yang tak berdarah.

ada yang menjerit "kemarau! kemarau! benih puisiku
tak bertuan!" jerit tipis seperti mistis, jerit yang
layap-layap ing ngaluyup.

ada yang ingin memastikan "mangapa puisimu tak
membekaskan luka?" rupanya ia tak sekadar isyarat
yang melompat.

maka puisi ditanam ke wajah laut, ke wajah langit,
ke wajah bumi, ke wajah musim. "aku memar yang bebas,"
puisi tak lagi sasmita. adakah yang lebih bengis dari itu?
katakanlah.

(5)

kau zahir: "besok kita menangkap angin lagi."
maka aku takut menafsirkan isyarat ini.
sebab seperti laut mengombak wajah matahari,
seperti mazhab yang tak tercatat pada kitab, seperti..,

Komentar

Postingan Populer