KABAR KABUT
(1)
Sudah sembilan bulan ia tidak bersajak. sejak langit terlihat
terlalu biru, sehingga tidak ada sesuatu yang baru,
yang bisa dijadikannya larik-larik menarik.
"aku mau langit berwarna cokelat!" serunya bosan.
ia pun menggambar langit dengan crayon warna tembakau.
seseorang tertawa, tawa yang membuatnya lumpuh,
tawa dalam kabut. luluh, ia pun mengejar kabut jauh.
kabut yang membelai helai-helai rambut; "bukankah
kau perempuan kuning? mengapa tidak menggambar
matahari berwarna mentega?"
ia terpukau. kabut itu secoklat langit dengan taburan
wangi tembakau. tiba-tiba saja, dadanya sibuk
dengan debar yang menyerbuk.
(2)
aku menanti kabut
turun ke pinggir
kolam,
turun ke bibir
cangkir
aku menanti kabut
turun ke pinggir
kolam,
turun ke bibir
ku.
(3)
seraut kabut membuat rindunya menyala
dalam pedar debar tak tertakar.
ia pun terbakar ketika disebut dalam bahasa
yang salip menyalip dengan denyar.
ia setegar karena tak sabar. tetapi ia tak mengerti,
kenapa kabut menyisip tanpa ia tahu apa dan mengapa.
begitu saja, tiba-tiba kabut menyisir setiap desir.
"kau tak perlu tahu apa dan mengapa," mereka
bersisipan, hanya berselisipan. tetapi rasa itu
tak pergi-pergi juga, menyahut jiwa untuk saling bertaut
ke dalam puisi sebelum tersungkur dalam wajah maut.
(4)
ada daun tenggelam
karena rindu dalam
pada kabut malam.
Sudah sembilan bulan ia tidak bersajak. sejak langit terlihat
terlalu biru, sehingga tidak ada sesuatu yang baru,
yang bisa dijadikannya larik-larik menarik.
"aku mau langit berwarna cokelat!" serunya bosan.
ia pun menggambar langit dengan crayon warna tembakau.
seseorang tertawa, tawa yang membuatnya lumpuh,
tawa dalam kabut. luluh, ia pun mengejar kabut jauh.
kabut yang membelai helai-helai rambut; "bukankah
kau perempuan kuning? mengapa tidak menggambar
matahari berwarna mentega?"
ia terpukau. kabut itu secoklat langit dengan taburan
wangi tembakau. tiba-tiba saja, dadanya sibuk
dengan debar yang menyerbuk.
(2)
aku menanti kabut
turun ke pinggir
kolam,
turun ke bibir
cangkir
aku menanti kabut
turun ke pinggir
kolam,
turun ke bibir
ku.
(3)
seraut kabut membuat rindunya menyala
dalam pedar debar tak tertakar.
ia pun terbakar ketika disebut dalam bahasa
yang salip menyalip dengan denyar.
ia setegar karena tak sabar. tetapi ia tak mengerti,
kenapa kabut menyisip tanpa ia tahu apa dan mengapa.
begitu saja, tiba-tiba kabut menyisir setiap desir.
"kau tak perlu tahu apa dan mengapa," mereka
bersisipan, hanya berselisipan. tetapi rasa itu
tak pergi-pergi juga, menyahut jiwa untuk saling bertaut
ke dalam puisi sebelum tersungkur dalam wajah maut.
(4)
ada daun tenggelam
karena rindu dalam
pada kabut malam.
Komentar
Posting Komentar